Rahayu, Karsi (2018) Anak Menjadi Wali Nikah Ibu Perspektif Hukum Islam (Studi Kasus Kelurahan Banjarsari Metro Utara Kota Metro). Undergraduate thesis, IAIN Metro.
|
PDF
SKRIPSI KARSI RAHAYU NPM. 13101563.pdf - Other Download (3MB) | Preview |
Abstract
Yang dimaksud wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan, dalam suatu akad nikah. Sedangkan fiqh lima mazhab menjelaskan perwalian dalam perkawinan adalah suatu kekuasaan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karna kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu demi kemaslahatan. Berdasarkan beberapa pengertian diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwa wali nikah merupakan orang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk mengawinkan seorang wanita kepada seorang laki-laki sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh ajaran Islam.
Peneliti menemukan sebuah kasus di Kelurahan Banjarsari Metro Utara Kota Metro. Dibanjarsari telah terjadi perkawinan siri seorang janda dengan seorang duda. Peneliti telah melakukan pra survey di banjarsari dengan mewawancarai ibu tri selaku kerabat yang turut hadir dalam akad nikah antara ibu S dengan bapak M. Dimana perkawinan antara ibu S dengan bapak M yang bertindak sebagai wali nikah bukanlah termasuk dalam urutan wali sesuai dengan yang tercantum dalam KHI, akan tetapi yang bertindak sebagai wali nikah adalah anak laki-laki dari ibu S yang berinisial B, karena memang ibu S tersebut berstatus janda dengan 3 orang anak.
Penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan adalah suatu penelitian yang dilakukan di lapangan atau lokasi penelitian untuk menyelidiki gejala objektif yang terjadi di lokasi tersebut dan juga dilakukan untuk penyusunan laporan ilmiah. Sehingga penelitian ini memperoleh data yang akurat. Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Banjarsari Metro Utara Kota Metro.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri ataupun menikahkan orang lain. Syafi’i, Maliki, dan Hambali berpendapat, bahwa jika wanita yang baligh dan berakal itu masih gadis, maka yang berhak menikahkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika dia janda, maka hak itu ada pada keduanya. Jadi untuk status seorang janda ia lebih berhak atas dirinya sendiri artinya seorang janda ketika akan menikah diperbolehkan tanpa adanya wali. Di Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam anak kandung tidak termasuk kedalam urutan wali pernikahan. Hukum positif yang berlaku di negeri ini tegas diambil dari mazhab syafi’I. Oleh karena itu bila hal ini dikaitkan dengan hukum positif yang berlaku di negeri ini yaitu Kompilasi Hukum Islam (KHI), seorang anak laki-laki tidak boleh menjadi wali nikah atas ibunya sendiri.
Item Type: | Thesis (Undergraduate) |
---|---|
Subjects: | Ahwal Syakhshiyyah |
Divisions: | Fakultas Syariah > Ahwal Syakhshiyyah |
Depositing User: | Aan Gufroni . |
Date Deposited: | 07 Jan 2020 01:27 |
Last Modified: | 07 Jan 2020 01:27 |
URI: | https://repository.metrouniv.ac.id/id/eprint/483 |
Actions (login required)
View Item |